Total Tayangan Statistik

Senin, 30 April 2012

PERANAN HUKUM DALAM PERTANGGUNG-JAWABAN PERBUATAN PEMERINTAHAN

Suatu kajian dalam
Kebijakan Pembangunan Hukum
Winahyu Erwiningsih, SH.,MHum.
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Abstract
xistence of responsibility principle of government is one of balancing
factors among the position of government and the people
on the exercising of state administration. The government has its
authority to regulate, tax picking, enforcing law, apply sanction, and
so fort, those are various ”authority” in the process of achieving state
goals. Meanwhile, the people have rights to gain law protection against
governmental action that may cause disadvantage. This principle
provides sufficient space for people participation that is necessary
in democratic government. Consistent and consequent implementation
of the government responsibility, in turn can increase the prestige of
the government and acknowledgment of the people for their
government.
Kata kunci:pemerintahan yang bertanggung jawab, masyarakat
madani
Pendahuluan
Reformasi hukum merupakan salah satu amanat penting dalam
rangka pelaksanaan agenda reformasi nasional. Di dalamnya tercakup
agenda penataan kembali berbagai institusi hukum dan
politik mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan
desa, pembaharuan berbagai perangkat peraturan perundangundangan
mulai dari UUD sampai ke tingkat Peraturan Desa dan
pembaruan dalam sikap, cara berpikir dan berbagai aspek perilaku
masyarakat hukum kearah kondisi yang sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman. Dengan perkataan lain dalam agenda
E
138 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
reformasi hukum telah tercakup pengertian reformasi kelembagaan
(institutional reform), reformasi perundang-undangan (instrumental
reform), dan reformasi budaya hukum (cultural reform).
Reformasi hukum harus pula dimulai dari kondisi pemerintah
yang baik. Pemerintahan yang sehat dan tegas akan mendukung
apapun langkah reformasi yang diamanatkan. Pemerintah sebagai
subjek hukum yang berarti pula dapat melakukan perbuatan
hukum, maka pemerintah sangat berpotensi melakukan penyimpangan
atau pelanggaran hukum. Mengapa demikian? Menurut
James Madison, dalam tulisannya yakni Federalist Papers
menyatakan “if men were angels, no government would be necessary.
If angels were to govern men neither external nor internal controls on
government would be necessary”.1
Pemerintahan adalah berkenaan dengan sistem, fungsi, cara
perbuatan, kegiatan, urusan atau tindakan memerintah yang dilakukan
atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh ‘pemerintah’
dalam arti luas (semua lembaga Negara) maupun dalam arti sempit
(presiden beserta jajaran atau aparaturnya). Eksekutif adalah
cabang kekuasaan Negara yang melaksanakan kebijakan publik
(kenegaraan dan atau pemerintahan) melalui peraturan perundang-
undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga legislatif
maupun atas inisiatif sendiri.
Secara teoretis, presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan
yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi
negara. Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk
dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara,
pemerintah dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regelen)
maupun dal am lapangan pelayanan (bestuuren).2
‘Administrasi’ (Negara) adalah badan atau jabatan dalam
lapangan kekuasaan eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri
berdasarkan hukum untuk melakukan tindakan-tindakan pemerintahan
baik di lapangan pengaturan, maupun penyelenggara-
1 Asep Warlan Yusup, 2002, Pemerintahan Berdasar Atas Hukum, Artikel.
2 Iskatrinah, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Baik, Litbang Pertahanan Indonesia, Balitbang DepHan 2004.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 139
an administrasi negara3
Kembali pada pernyataan bahwa setiap orang selalu dapat
melakukan kesalahan, maka diperlukan suatu pengawasan baik
internal maupun eksternal. Salah satu instrumen pengawasan itu
adalah melalui dan oleh hukum, dan karena secara konstitusional
pemerintah adalah pemegang otoritas membentuk dan melaksanakan
hukum, maka patut diwaspadai segala sesuatu yang berpotensi
untuk terjadinya pelanggaran hukum oleh pemerintah.
Secara umum kelaziman pelanggaran hukum oleh pemerintah
itu menurut Felix A. Nigro dapat dikategorikan dalam 9 bentuk
pelanggaran yaitu:4 (a) Ketidakjujuran (dishonesty); (b) Berperilaku
tidak etis (unetical behavior); (c) Mengesampingkan hukum
(overidding the law); (d) Memperlakukan pegawai secara tidak patut
(unfair treatment of employees); (e) Melanggar prosedur hukum
(violations of procedural due process); (f) Tidak menjalin kerjasama
yang baik dengan pihak legislatif (failure to respect legislative
intent); (g) Pemborosan dalam penggunaan sumber daya (gress
inefficency); (h) Menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan oleh
aparatur (covering up mistakes); (i) Kegagalan untuk melakukan
inisiatif dan terobosan yang positif (failure to show inisiative).
Pengedepanan aturan hukum adalah pilihan yang paling
rasional guna mencegah terjadinya berbagai penyimpangan
tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa segala aktivitas
pemerintah harus tetap dalam kendali pengawasan yang memadai
(adeguate). Keberadaan pemerintah yang selalu dalam pengawasan
mengandung makna bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penye-
3 Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas tentang istilah pemerintah dan
pemerintahan,maka dalam Blacks Law Dictionary, diartikan bahwa : Government, from the
Latin Gubernaculum, signifies the instrument, the helm, whereby the ship to which the state
was compared , was guided on its course by their “gubernator” or helmsman, and agency of
state distinguished as it must be an accurate thought from its scheme and machinery of
government. In US Government consist , of the executive, legislative, judicial branches, in
addition to administrative agencies. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
‘executive’ adalah ‘ as distinguished from the legislative and judicial departments (i.e
branches) of government, the executive departments is that which is changed with details of
carrying the laws info effect and securing their due observance’.
4 Felix A. Nigro dan Liod g.Nigro, Modern Public Administration, Harper and Row,
Publisher, Third Edition, 1973, hlm 396-403
140 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
lenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan
pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan maupun
masyarakat serta berdasarkan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.5
Pelaksanaan pemerintahan yang baik pada gilirannya juga
akan membuat masyarakat memperoleh dan merasakan ketentraman
lahir batin, berupa: (a) Kelangsungan hidup dan pelaksanaan
hak tidak tergantung pada kekuatan fisik dan non fisik; (b)
Sepanjang tidak melanggar hak dan merugikan orang lain maka
masyarakat dapat secara bebas menjalankan apa yang diyakininya
sebagai kebenaran, serta dapat secara bebas pula mengembangkan
bakat dan kesenangannya; (c) Merasakan di-perlakukan secara
wajar, berperikemanusiaan, adil dan beradab sekalipun melakukan
kesalahan.
Demi menjamin dan memberikan landasan hukum bahwa
perbuatan pemerintahan (bestuurhendeling) yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai suatu perbuatan yang sah (legitimate dan
justified), dapat dipertanggungjawabkan (accountable and
responsible) dan bertanggung jawab (liable), maka setiap perbuatan
pemerintahan itu harus berdasarkan atas hukum yang adil,
bermartabat dan demokratis.
Perkembangan masyarakat akhir ini, memaksa sistem politik
yang dahulu mencengkeram dengan keras untuk menyesuaikan diri
dengan penghormatan kepada hak-hak asasi manusia. Sistem
politik yang demokratis menuntut suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka yang tentunya juga memiliki kualitas dan pengawasan
yang baik. Perkembangan ini secara langsung juga merupakan
tuntutan dunia internasional untuk mengurangi inefisiensi dari
pemerintahan yang sentralisasi dan kebutuhan kepastian hukum
dalam melaksanakan kinerja ekonomi. Kondisi pemerintahan telah
memperlihatkan ketidaktegasan policy pemerintah dalam
5 Analisis ini dikaji berdasarkan pendapat PhilipusHadjon, tentang detournement de
povoir yang dikaitkan dengan konsep Welfare State bahwa tugas utama pemerintah dalam
hal ini adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat, akan tetapi dalam konsep ini
tindakan pemerintah tidak harus berdasarkan asas legalitas sehingga kembali pada konsep
Freies Ermessen yang memberikan kebebasan pemerintah dalam kewenangannya guna
menjalankan tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 141
memberikan pengawasan terhadap para aparat penegak hukum
dalam memberantas korupsi dan kejahatan lain yang berkaitan
dengan kerugian negara.6 Kenyataan menunjukkan bahwa
seringkali hukum hanya dipergunakan sebagai alat untuk mengatur
rakyat belaka dan jarang dijadikan acuan bagi diri sendiri oleh
pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya. Hal inilah yang
pertama-tama harus disadari oleh semua pihak agar dapat mencapai
kondisi kenegaraan yang mapan dan rakyat sejahtera yakni
bahwa hukum harus diperlakukan sebagai panglima dalam negara
hukum.7
Hukum Memerlukan Kekuasaan
Hukum dan kekuasaan harus seimbang dalam pelaksanaannya
sehingga pemerintahan yang berdasarkan hukum tetap harus
mengutamakan demokrasi. Demokrasi adalah seperangkat gagasan
dan prinsip tentang kebebasan, tetapi menyangkut seperangkat
praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan
berliku-liku. Semua demokrasi adalah seperangkat sistem yang
dalam hal ini warga bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan
mayoritas.8
Kekuasaan yang mayoritas tidak selamanya demokratis, karena
dalam demokrasi, kekuasaan mayoritas juga digandengkan dengan
hak asasi manusia, yang berarti juga harus menghormati hak
minoritas. Penghormatan hak minoritas berarti melaksanakan
supremasi hukum, hal ini perlu disadari karena pembangunan
selama ini belum sepenuhnya mampu memberikan kesejahteraan
yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat dan belum berpihak
pada minoritas. Kekuasaan yang ada pada pemerintah itu pada
dasarnya tidak baik dan juga tidak buruk, tergantung dari si
empunya kekuasaan itu sendiri, akan tetapi karena sifat-sifat dan
hakikat kekuasaan itu cenderung untuk diselewengkan (power
6 Paul Suparno, 2003, Memberantas Budaya Korupsi Lewat Pendidikan, Kompas.
7 Herkristuti Herkrisnowo, 2003, HAM Dalam Kerangka Integrasi Nasional Dan
Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
8 Nuri Rismawati, 2004, Fenomena Transisi Demokrasi di Indonesia, Renaissance, Politik
Research and Studies dan Kabid Sosial Ekonomi IMM FISIP UMM, Sulawesi Utara.
142 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
tends to corrupt), maka perlu ada batas-batasnya.9 Untuk itulah dibutuhkan
hukum yang efektif sebagai pengatur kekuasaan. Seorang
pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi kepada
kepentingan umum (sense of public service). Inilah inti dari pengertian
bahwa kekuasaan (pemerintahan) itu harus tunduk pada
hukum.
Negara konstitusional adalah negara yang kehidupannya didasarkan
pada konstitusi yang bersifat nasional dan demokratis.
Suatu konstitusi dikatakan bersifat nasional bila konstitusi itu dilandasi
kesadaran bernegara. Dalam pada itu konstitusi dikatakan
demokratis bila konstitusi itu didasarkan pada kesepakatan rakyatnya
yang berarti kekuasaan kenegaraan tertinggi ada di tangan
rakyat10
Konstitusi yang merupakan norma fundamental negara
(staatsfun-damentalnorm) yang merupakan rujukan bagi semua
aturan hukum di bawahnya dan sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat yang di dalamnya, telah mengandung keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara yang berupa kumpulan peraturan
yang mengatur, membentuk dan memerintah dalam pemerintahannegara.
11 Oleh karena itu rujukan norma fundamental ini
harus dijadikan amanat yang harus dilaksanakan demi perwujudan
tampilan pemerintah yang bertanggung jawab. Dengan
demikian, pelbagai tindakan ketidakadilan yang meliliti kehidupan
manusia, dapat segera diakhiri.12
Efektivitas proses penggunaan kekuasaan yang tunduk pada
hukum itu, pada akhirnya akan menjadi penilaian kerja bagi aparat
9 Bangsa ini perlu belajar dari Sudan, yang telah mengadili 164 tersangka yang di antaranya
adalah sejumlah pejabat pemerintah atas tuduhan melakukan pelanggaran antara lain
pemerkosaan dan pembunuhan di wilayah Darfu Sudan Barat yang dililit peperangan,
demikian laporan sejumlah media pemerintah. Pengumuman itu menyebar ketika Dewan
Keamanan PBB sedang mempersiapkan debat satu resolusi rancangan Perancis yang merujuk
pada 51 tersangka yang diidentifikasi tim penyelidik PBB untuk disidangkan atas tuduhan
kejahatan perang kepada Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag. www.
yourcompany.com
10 Sugeng Istanto, 1998, Konstitusionalisme dan Undang-Undang Politik.
11 Dwi S. Nugroho, 2002, Problem Amandemen UUD 1945 dan Gagasan Dibentuknya
Komisi Konstitusi, sebagaimana mengutip pendapat dari Slamet Effendi Yusuf dan Umar
Basalim, Artikel.
12 Kotan. Y. Stefanus, 2004, Potert HAM Dalam Sektor Publik.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 143
dan instansi pemerintahan, oleh karena itu agar norma hukum
dapat berjalan secara efektif serta efisien, maka perlu dicermati
beberapa kriteria yang tampaknya dapat dijadikan parameter yang
memadai bagi hukum yang memiliki tingkat penegakannya
(enforceability) yang tinggi. Beberapa kriteria tersebut antara lain
adalah sebagai berikut: (1) Necessity, bahwa hukum harus diformulasikan
sesuai dengan kebutuhan sistematis dan terencana;
(2) Adequacy, bahwa rumusan norma hukum harus memiliki tingkat
dan kadar kepatian yang tinggi; (3) Legal Certainty, bahwa hukum
harus memiliki tingkat kadar kepastian hukum yang tinggi; (4)
Clearly, bahwa hukum harus benar-benar memuat kaidah-kaidah
dengan jelas dan nyata, tidak samar dan tidak menimbulkan penafsiran;
(5) Actuality, bahwa hukum harus mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan masyarakat dan zaman, tanpa
mengabaikan kepastian hukum; (6) Feasibility, bahwa hukum harus
memiliki kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan terutama
berkenaan dengan tingkat penataannya; (7) Verifiability, bahwa
hukum yang dikerangkakan harus dalam kondisi yang siap uji
secara objektif; (8) Enforceability, bahwa hukum pada hakikatnya
terus memiliki daya paksa agar ditaati dan dihormati; (9)
Provability, bahwa hukum harus dibuat sedemikian rupa agar
mudah dalam pembuktian. 13
Kriteria tersebut di atas memberikan kesimpulan bahwa
kaidah-kaidah hukum memiliki kekuatan-kekuatan hukum yakni
kemampuan untuk mengikatkan akibat-akibat hukum pada
peristiwa-peristiwa hukum. Keberlakuan hukum tidak menunjuk
pada kekuatan fisik yang asli melainkan tetap berlandaskan kepada
suatu struktur yuridis tersendiri yang tidak dijabarkan dari sesuatu
yang lain. Hal ini ditentukan oleh sifat normatif dari aspek hukum
yang mempertunjukkan suatu sifat yuridis yang khas yakni
kesatuan yuridis normatif.
13 Bandingkan dengan tulisan Jong P, Handhaafbaar Milieurecht (Enforceeable Environment
Law), Deventer W.E.J Tjeenk Willink, 1977. Juga tulisan Hawkins, K, Environment
and Enforcement, Regulations and this Social Definitions of Pollution, Oxford: Clarendon
Press, 1984, hlm 32-33.
144 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
Hukum Dijadikan “Dalih” dalam Pembangunan
Dalih “demi pembangunan”, selalu dijadikan alasan dalam
praktek pemerintahan, demi mengesampingkan hukum. Tidak
sedikit orang yang beranggapan bahwa pembangunan itu merupakan
suatu usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik,
budaya, infrastruktur masyarakat dan sebagainya. Dengan pemahaman
seperti itu maka istilah ‘pembangunan disejajarkan
dengan kata ‘perubahan sosial’.
Krisis kepercayaan terhadap hukum nasional yang melanda
Indonesia dalam kenyataannya juga disebabkan adanya penyeragaman
atau sentralistik aturan hukum dan pemonopolian aparat
penegak hukum.14
Hukum dan politik merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan.
Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk
menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara
garis besar, hukum berfungsi melakukan social control, dispute
settlement dan social engineering atau inovation sedangkan fungsi
politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization,
dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule
adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi
kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsif).
Walaupun hukum dan politik memiliki fungsi dan dasar
pembenar yang berbeda namun keduanya tidak saling bertentangan,
tetapi saling melengkapi. Masing-masing harus memberikan
kontribusi yang sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan terutama
dalam komitmen mendukung terlaksananya pembangunan.15
Pemerintah yang bertanggung jawab berarti mampu untuk
mewujudkan fungsi ekonomi publik yang sesungguhnya yakni
kembali pada fungsi Alokasi, Distribusi, dan Stabilisasi.16
Idealnya sebuah pembangunan adalah terjadinya pertumbuhan
yang terarah, dengan suatu perubahan sistem yang direncana-
14 Fathullah, Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat, Konsultan Hukum
Otonomi Daerah, CIDES, Jakarta, 2000
15 Oka Mahendra, Hukum dan Politik, 1999
16 Suyono, 2004, Tinjauan Tentang Fungsi Ekonomi Pemerintah (Alokasi, Distribusi dan
Stabilisasi).
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 145
kan sebaik-baiknya. Setiap pembangunan harus mempunyai tujuan
yang ditetapkan sebelumnya, pertumbuhan dan perkembangan
menuju ke arah tercapainya tujuan dan untuk dapat mencapai
tujuan tersebut perlu ada kemampuan, yakni kemampuan untuk
mengubah tumbuh dan berkembang menuju ke arah tercapainya
apa yang dikehendaki oleh penyelenggara pembangunan.
Pembangunan yang sebenarnya harus menyeimbangkan
antara kekuasaan dan politik, secara moral perlu dibangun integritas
keagamaan dan perlu penekanan-penekanan agar politik
praktis dan hukum dapat berjalan sebagaimana seharusnya.17
Karen Lebacqz menyatakan, there may be no more urgent cry
today than that of “justice”, and no more frequent accusation than that
of injustice. Hal ini wajar, karena sebagaimana dikatakan oleh
Danile Webster bahwa keadilan adalah kepentingan manusia yang
paling luhur di bumi ini. Bagaimanapun juga keadilan itulah yang
dicari orang tiada hentinya, diperjuangkan oleh orang dengan
gigihnya, dinantikan oleh orang dengan penuh kepercayaan dari
pihak kaum penguasa dan orang akan menentang sekeras-kerasnya
apabila keadilan tidak diberikan atau apabila keadilan tidak ada.18
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
hukum seharusnya dijadikan pedoman dalam pembangunan yang
berarti: (1) hukum sebagai asas pembangunan yang dapat diartikan
bahwa setiap gerak pembangunan harus dituangkan dalam hukum,
baik dalam hal landasan kegiatannya maupun dalam penegakan
pilar pembangunannya, maka dengan demikian, hukumpun harus
diartikan sebagai penjamin terpeliharanya hasil-hasil pembangunan
yang baik; (2) adanya satu kesatuan hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan kemanusiaan, peradaban dan kejayaan
bangsa dan Negara. Ini tidak berarti menegasikan atau menafikan
adanya pluralitas hukum yang dibentuk dan diberlakukan melalui
hukum adat dan atau hukum agama yang seharusnya justru men-
17 Abdul Munir Mulkan, 2004, Gerakan Keagamaan Harus Dapat Mendukung Penegakan
Hukum, Republika.
18 Seperti dikutip oleh Roscou Pond, 1965, Tugas Hukum, Muhammad Radjab, Bhatara,
hal 9; pendapat yang hampir sama juga diungkapkan oleh Yusuf Oordhawi, 2000, “Waktu,
Kekuasaandan Kekayaan sebagai Amanah Allah”, terjemahan, Abu fahmi, Gema Insani
Press, hal. 107.
146 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
jadi fundamen bagi bangunan hukum nasional. Yang dimaksud
sebagai Hukum Nasional adalah hukum yang dibentuk dan diberlakukan
untuk kepentingan landasan pembangunan dan pemberdayaan
bangsa dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan
keadilan seluruh rakyat.
Pertanggungjawaban Pemerintahan (Governmental Liability)
Istilah Governmental Liablity, sering kali ditukarartikan dengan
istilah State Liability. Misalnya tulisan J.J. Van Der Gouw, et al (1997)
yang berjudul Government Liability ini Netherlands mengatakan
bahwa baik negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
dewan air maupun badan-badan lainnya yang memiliki tugas pemerintahan,
digolongkan sebagai badan hukum (legal person) yang
dapat dimintai pertanggungjawabannya baik secara hukum perdata
maupun hukum administrasi, apabila melakukan perbuatan
melanggar hukum (unlawful action)
Pendapat Otto Depenheuer (Governmental Liability in Germany,
1997) bahwa dalam Pasal 131 Welmar Constitution menyatakan
“negara bertanggung jawab (the state was liable) secara hukum
publik atas segala perbuatan aparaturnya yang berbuat kesalahan”.
Lebih lanjut dikatakan “ketentuan dalam Pasal 131 tersebut merupakan
tindakan yang mendahului tindakan perdata yang akan
menyeret pejabat yang bersangkutan di hadapan “pengadilan
perdata”. Tindakan hukum publik (misalnya berupa pemecatan)
menurut pasal 131 tadi digunakan, menurutnya karena penggunaan
pasal 839 KUHPerdata Jerman yang merupakan tanggung jawab
pribadi pejabat (official personality) seringkali tidak memuaskan
(unsatisfactory) sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan ketidakpercayaan
publik kepada pemerintah.19
Secara umum pengertian Tanggung Jawab Pemerintahan
adalah kewajiban penataan hukum (compulsory compliance) dari
negara atau pemerintah atau pejabat pemerintah atau pejabat lain
yang menjalankan fungsi pemerintahan sebagai akibat adanya
19 Depenheuer, Governmental Liability, ini “Comparative Studies on Governmental Liability
in East and Sothwest Asia”, edited by Yong Zhang, Kluwer Law International 1999
hlm 173.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 147
suatu keberatan, gugatan, judicial review, yang diajukan oleh seseorang,
masyarakat, badan hukum perdata baik melalui penyelesaian
pengadilan atau di luar pengadilan untuk pemenuhan
berupa: (a) pembayaran sejumlah uang (subsidi, ganti rugi, tunjangan,
dsb); (b) menerbitkan atau membatalkan/mencabut suatu
keputusan atau peraturan, dan; (c) tindakan-tindakan lain yang
merupakan pemenuhan kewajibannya, misalnya untuk melakukan
pengawasan yang lebih efektif dan efisien, mencegah adanya
bahaya bagi manusia maupun lingkungan, melindungi harta benda
warga, mengelola dan memelihara sarana dan prasarana umum,
mengenakan sanksi terhadap suatu pelanggaran dan sebagainya.
Pengertian tersebut jelas bahwa governmental liability lebih ditekankan
kepada pertanggungjawaban keperdataan dan
administrasi, sedangkan pertanggungjawaban pidana dilekatkan
kepada perbuatan pribadi pejabat yang bersangkutan, misalnya
korupsi, pembunuhan, perzinahan, dan sebagainya, yang sesuai
dengan ketentuan pidana. Dalam konteks governmental liability, di
bidang keperdataan pada umumnya didasarkan pada suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa
(onrechmatige overheidsdaad atau unlawful acts of the government)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Penyelesaian
tindakan keperdataan ini dapat dilakukan melalui jalur
pengadilan atau di luar pengadilan yakni melalui mekanisme ADR
(antara lain : mediasi dan arbitrase).
Jalur prosedur gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata dimaksudkan agar pemerintah bertanggung jawab
secara perdata berupa pembayaran ganti rugi maka harus dapat
dibuktikan: (a) tindakan pemerintah tersebut bersifat melawan
hukum; (b) benar-benar bersalah; (c) penggugat (masyarakat/badan
hukum swasta) memang menderita kerugian; (d) kerugian tersebut
sebagai akibat perbuatan pemerintah.
Penegakan Prinsip Pertanggungjawaban dalam Perundangundangan
Empat ciri pokok suatu negara hukum dalam arti formal, yaitu:
(a) adanya jaminan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;
(b) adanya pembagian kekuasaan dalam negara; (c) pemerintahan
148 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
diselenggarakan berdasarkan hukum (tertulis dan tidak tertulis);
(d) adanya peradilan administrasi.
Keberadaan peradilan administrasi mempunyai peranan yang
sangat penting dalam membentuk good governance dalam mewujudkan
negara hukum, yaitu sebagai lembaga kontrol atau
pengawas terhadap tindakan-tindakan hukum pemerintah agar
tetap berada pada jalur hukum di samping pelindung hak-hak
warga masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang penguasa.
Pertanggungjawaban pemerintahan dalam bidang hukum
adminstrasi terdapat empat kemungkinan penyebabnya yakni
karena tindakan penguasa: (1) melahirkan keputusan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan; (2) penyalahgunaan
wewenang; (3) sewenang-wenang; (4) bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Selain lembaga peradilan administrasi yang mengontrol perbuatan
hukum pemerintah, juga dapat diperankan oleh peradilan
biasa melalui proses judicial review artinya setiap produk peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dapat dilakukan
pengujian secara materiil. Di samping lembaga peradilan yang
dapat mengontrol dan sekaligus meminta pertanggungjawaban
pemerintahan baik dari segi hukum perdata maupun tata usaha
negara tersebut, prinsip pertanggungjawaban pemerintahan ini
dapat ditegakkan melalui control lembaga non judicial, misalnya
Komisi Nasional Ombudsman yang dapat meminta pertanggungjawaban
aparatur pemerintah yang antara lain telah melakukan
maladministration atau menunjukkan sikap dan tindakan yang
merugikan masyarakat sebagai akibat pelayanan birokrasi yang
buruk.
Selain itu juga ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dari
KKN yang senantiasa berfungsi melakukan pencegahan praktek
KKN dalam penyelenggaraan negara.
Penyelenggaraan beberapa lembaga seperti halnya Komisi
Ombudsman dan KPKPN ini atau lembaga-lembaga lain yang
sejenis sesungguhnya telah mengarah kepada upaya ditegakkanPeranan
Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 149
nya prinsip GL dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena
itu apabila dilihat dari aspek pengawasan maka secara umum
prinsip pertanggungjawaban pemerintahan ini secara umum sudah
dapat dikatakan memadai.
Selain lembaga-lembaga kontrol terhadap penegakan pertanggungjawaban
pemerintahan ini, dalam peraturan perundangundanganpun
dikenal bentuk-bentuk pertanggungjawaban
pemerintahan, sebagai contoh misalnya pertanggungjawaban
pemerintah dalam memberikan ganti rugi seperti yang terdapat
dalam Pasal 4 ayat 2 huruf c dan Pasal 26 UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang yang pada intinya menyebutkan bahwa
pemerintah wajib memberikan penggantian yang layak kepada
masyarakat atas suatu kondisi yang dialaminya oleh karena suatu
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang .
Di sini jelas walaupun kegiatan pembangunan itu sesuai dengan
rencana tata ruang namun menimbulkan kerugian bagi masyarakat,
maka pemerintah wajib memberikan ganti rugi yang layak.
Apalagi kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang, tentunya tidak hanya sekedar ganti rugi. Ada pula
Keppres No. 55 Tahun 1993, Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang menyebutkan
bahwa pemerintah memerlukan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, maka kepada pemegang
hak atas tanah tersebut wajib diberikan antara lain ganti rugi yang
layak sesuai kesepakatan sukarela yang dilakukan melalui musyawarah.
Keppres inipun menjamin bahwa walaupun untuk kepentingan
umum, namun sebagai perwujudan dari penegakan prinsip
pertanggungjawaban pemerintahan, maka pemerintah wajib memberikan
ganti rugi atau semacamnya, apalagi yang bukan untuk
kepentingan umum.
Demikian pula penegakan pertanggungjawaban pemerintahan
dalam hukum administrasi antara lain dapat dilihat dari UU No.
24 Tahun 1992 tadi dan UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang pada intinya menyatakan bahwa pemerintah
dalam penyusunan dan penetapan rencana tata ruang,
serta dalam hal pemberian izin harus bersifat transparan dan
terbuka. Pemerintah wajib mengumumkan kepada masyarakat
150 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
tentang adanya rencana tata ruang dan juga adanya izin bagi
kegiatan usaha. Maksud dari pengumuman secara terbuka ini
adalah masyarakat diberi dan dijamin haknya untuk: (a) mengakses
informasi; (b) ikut mengkaji; (c) memberikan opini dan atau keberatan;
(d) ikut mempengaruhi dalam pengambilan keputusan;
(e) ikut mengawasi jalannya pelaksanaan putusan tersebut.
Selain itu terdapat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya
menyatakan bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan
kekayaan sunber daya alam itu harus benar-benar ditujukan bagi
kemakmuran rakyat, pernyataan pasal ini sudah menggarisbawahi
pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari pemerintah untuk
tidak melaskanakan pasal tersebut secara konsekuen.
Tanggung Jawab ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang
dalam memposisikan kedudukan pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah
memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan
hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang merupakan
serangkaian “kekuasaan” dalam upaya mencapai tujuan hidup
bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh
perlindungan hukum dari berbagai tindakan pemerintah
yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini sesungguhnya
memberikan ruang yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta
masyarakat yang memang sangat dibutuhkan oleh pemerintahan
yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab
pemerintahan ini secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya
akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah
di mata rakyatnya, sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan
asas tanggung jawab pemerintahan ini maka setidaknya
akan tercapai beberapa hal yang penting yakni: (a) ditegakkannya
prinsip Negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan
di hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena
pemerintah pun ternyata menghormati dan taat pada hukum; (b)
mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih menganut
budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung
jawab pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran hukum
masyarakat secara sukarela (voluntary compliance); (c) memPeranan
Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 151
perkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance
yang selaras dengan penguatan masyarakat madani (civil society);
(d) untuk memperkuat asas tanggung jawab pemerintahan ini agar
terjadi kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum, maka
perlu dipikirkan untuk dibentuk undang-undang tentang
Tanggung Jawab Negara.20
Asas “tanggung jawab pemerintahan’ dalam maknanya dibedakan
dengan asas ‘pemerintahan yang bertanggung jawab’
(responsible government). Tanggung jawab pemerintahan ini diukur
dari tingkat keabsahan perbuatan pemerintahan (bestuurhandeling),
baik dari keabsahan hukum (rechtmatigheids), keabsahan
undang-undang (wetmatigheids), maupun dari segi keabsahan
tujuan atau maksud (doelmatigheids) dan bagaimana pula
pertanggungjawaban hukumnya.
Dua hal yakni ‘tanggung jawab pemerintahan’ dan ‘pemerintahan
yang bertanggung jawab’ memiliki kesamaan semangat dan
cita-cita yakni membentuk pemerintahan yang baik dalam rangka
menegakkan negara hukum yang demokratis. Oleh karena itu
keduanya tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Namun dalam tulisan ini hanya dibahas hal-hal yang
berkenaan dengan tanggung jawab pemerintah, karena dalam
banyak hal masih dirasakan belum optimal penggunaannya, misalnya
dalam berbagai kasus gugatan tata usaha Negara dan perdata
maupun pemberian ganti rugi yang melibatkan tanggung jawab
pemerintah.
Perwujudan pemerintahan yang baik dan bersih juga dipengaruhi
oleh peranan kode etik profesi serta strategi penegakannya.
Etika dalam konteks pemerintahan, dapat diawali dengan
pengertian Etika menurut Aristoteles yang menunjukkan filsafat
moral tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan
dan suara hati. Etika perorangan menentukan baik atau buruknya
perilaku orang per orang dalam hubungannya dengan individu lain.
Sementara itu, etika organisasi menggariskan konteks tempat
20 Di Jerman disebut State Liability Act 1981, di Jepang disebut Government Liability
Act, 1946. Selain itu perlun pula UU tentang Kompensasi (di Korea disebut National Compensation,
Act, Administrative Compensation for Injury dan Administrative Compensation
for Loss.
152 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
keputusan-keputusan etika perseorangan yang justru harus dimiliki
oleh orang yang menjadi pengabdi masyarakat (public servant).
Etika organisasi sebagai (ethics of rule) yang dicerminkan dalam
struktur organsasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk di
dalamnya sistem insentif dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan
aturan.
Peranan kode etik bagi aparat pemerintahan, harus dijadikan
kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi aparat
pemerintah sekaligus menjamin mutu moral profesi di hadapan
masyarakat. Aparat pemerintah sebagai public servant tidak
mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang d-ilayaninya
oleh karenanya secara material mempunyai kewajiban
untuk memberikan pelayanan publik secara baik. Dengan memahami
etika dan asas pemerintahan, diharapkan dapat mengurangi
tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan
masyarakat. Perumusan kode etik berperan membawa aparat
pada kesadaran moral akan kedudukan dan profesinya yang
diperoleh dari Negara atas nama rakyat. Aparat yang menaati kode
etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah
di atas kepentingan-kepentingan lain.
Kode etik berfungsi sebagai patokan sikap mental yang ideal
bagi segenap aparat pemerintah yang dapat mendorong keberhasilan
organisasinya. Organisasi pemerintahan berhasil jika
aparatnya memiliki inisiatif yang baik, teliti, jujur dan memiliki
loyalitas tinggi dan kualitas seperti inilah yang hendak dicapai
ketika kode etik dirumuskan.
Sejarah Etika dikenal dalam teori Immanuel Kant (1724-1804)21
yang menyatakan bahwa mengenai hubungan antara apa yang
secara subjektif menjadi standar moral dan apa yang secara objektif
menjadi standar perilaku sosial. Kant juga membedakan antaar
legalitas (hukum) dan moralitas, dengan ‘legalitas’, ia maksudkan
kesesuaian antara suatu tindakan dengan norma atau peraturan
hukum lahiriah.
21 Imanual Kan, 1797, Metaphiysik der Sitten, (Metafisika Kesusilaan), sebaagimana
dikutip oleh Young Ohoitimur, seperti dicantumkan dalam Artikelnya Legalitas dan
Moralitas, http://www.mail-archieve.com/filsafat@yahoogroups.com/msgoo183.html, 2005.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 153
Legalitas berarti suatu tindakan diukur secara lahiriah menurut
peraturan tersebut. Motif bathiniah di balik kesesuaian
tindakan dengan norma itu tidak penting. Maksud Kant mungkin
dapat dijelaskan dengan ungkapan popular di kalangan politisi
dan birokrat yakni “yang penting sesuai dengan peraturannya”,
atau asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Jadi alokasi
dana studi banding ataupun penetapan besarnya gaji secara
berlebihan pun dianggap tidak apa-apa, asal sesuai dengan peraturan
tata tertib atau prosedur yang sudah ditetapkan untuk hal
yang seperti itu. Di sini nilai dan kesadaran moral ataupun motivasi
dan dorongan-dorongan batiniah tidak diperhatikan. Legalitas
memang terbatas pada aspek lahiriah suatu tindakan. Moralitas,
menurut Kant berarti kesesuaian antara suatu sikap dan perbuatan
dengan hukum batiniah, dan dengan apa yang disadari sebagai
kewajiban dan tindakan moral.
Moralitas terungkap dalam bentuk tekad batin dan menjadi
pendorong paling kuat terhadap tindakan moral. Jadi legalitas
merupakan perihal tindakan lahiriah sedangkan moralitas
bersumber pada kaidah batiniah yang terdalam. Legalitas dapat
dilihat, sementara menurut Kant, “Hanya Tuhan dapat melihat
bahwa tekad batin kita adalah moral dan murni”. Persepktif
moralitas menyatakan bahwa seseorang tidak mencuri (= taat pada
peraturan “Jangan Mencuri”) bukanlah masalah ia mau secara
lahiriah bertindak sesuai hukum melainkan karena ia benar-benar
sadar sebagai kewajibannya untuk bertindak atas cara tersebut.
Untuk itu secara jelas bahwa apa yang secara lahiriah sesuai
dengan peraturan atau mengikuti prosedur legal, belum tentu
punya nilai moral.
Menurut Kant, setiap orang harus bertindak sedemikian rupa
sehingga prinsip subjektifnya dapat sekaligus menjadi prinsip
hukum yang berlaku umum. Jadi maksim “apa yang dipinjam harus
dikembalikan” dan ini harus dikehendaki pula sebagai suatu
prinsip objektif dan berlaku universal bagi siapapun juga. Itulah
salah satu bentuk imperatif kategoris yakni prinsip subjektif yang
dapat sekaligus menjadi kaidah moral yang objektif dan berlaku
umum.
Kaidah hukum tidak lagi dihargai sebagaimana seharusnya
154 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
karena kaidah hukum dikatakan memiliki keberlakuan faktual jika
kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sungguh di dalam masyarakat
nyata-nyata dipatuhi oleh para warga masyarakat dan oleh
para pejabat yang berwenang sungguh-sungguh diterapkan dan
ditegakkan.22
Hukum harus dapat ditanamkan dalam kesadaran masyarakat,
apabila hukum hanya sekedar diketahui saja (dalam arti baru
menyentuh permukaan kognisi manusia saja) kemungkinan akan
terjadi bahwa orang dengan berbagai usaha, dalih dan muslihat
masih berkehendak untuk melanggar dan menyimpangi hukum
tersebut23
Penerapan hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk mendukungnya,
akan tetapi sebuah kekuasaan tanpa hukum adalah
sebuah kelaliman belaka, sehingga para pejabat yang berwenang
tetap harus melaksanakan hukum dengan tidak menyalahgunakan
kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya24
Para aparat penegak hukum, dalam menerapkan beberapa
prinsip di atas, hendaknya harus kembali menggunakan pertimbangan
moral dan pertimbangan politik dalam posisi yang
seimbang.25
Penutup
Keberadaan prinsip pertanggungjawaban pemerintahan
sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam
memposisikan antara kedudukan pemerintah dan masyarakat
dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki
wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum,
mengenakan sanksi, dan seterusnya, yang merupakan serangkaian
“kekuasaan” dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain
pihak, masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlin-
22 Arief Sidharta, 2003, Keberlakuan Hukum, Artikel.
23 Sutandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakartya, Elsam dan Huma, hal. 376.
24 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam
Pembangunan Nasional, Jakarta, Binacipta, hal. 5
25 Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Penyunting Somardi, Jakarta, Rimdi Press, Cetakan Pertama.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 155
dungan hukum dari berbegai tindakan pemerintah yang mungkin
dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu
adanya pertanggungjawaban ini sesungguhnya memberikan ruang
yang cukup leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat yang
memang sangat dibutuhkan oleh pemerintah yang demokratis.
Pelaksanaan prinsip pertanggungjawaban secara konsisten dan
konsekuen, akan meningkatkan pula wibawa dan martabat pemerintah
di mata rakyatnya. Hal ini disebabkan, apabila pemerintah
rela untuk menegakkan prinsip ini maka setidaknya akan tercapai
beberapa hal penting yakni: (a) ditegakkannya prinsip-prinsip
negara hukum, rule of law, supremasi hukum dan kesamaan di
hadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerinrtahan, karena
pemerintahpun ternyata menghormati dan taat hukum; (b)
mengingat pada umumnya masyarakat bangsa ini adalah masih
menganut budaya paternalistik maka adanya pertanggungjawaban
pemerintahan ini mendorong timbulnya kesadaran
hukum masyarakat secara sukarela (voluntary compliance); (c) memperkokoh
komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance
yang selaras dengan penguatan masyarakat madani (civil society);
(d) untuk memperkuat pertanggungjawaban pemerintahan agar
terjadi kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum, maka
perlu dipikirkan untuk dibentuk Undang-Undang Tentang
Tanggung Jawab Negara (di Jerman disebut State Liability Act 1981,
di Jepang disebut Government Liability Act, 1946). Selain itu itu
perlu pula Undang-Undang tentang Kompensasi (di Korea disebut
National Compensation Act, Administrative Compensation for Injury
dan Administrative Compensation for Loss).
DAFTAR PUSTAKA
Depenheur, 1999, Government Libility, Comparative Studies on Government
Liabilty in East and Southeast Asia, edited by Yong
Zhang, Kluwer Law International.
Fathullah, 2000, Otonomi Daerah Dan Penguatan Hukum Masyarakat
Konsultan Hukum Otonomi Daerah, Jakarta, CIDES.
Gouw, J.J. Van Der and Th.G.Drupsteen, 1999, Government Liabiity
156 Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004 : 137-157
ini the Netherlands, in “Comparative Studies on Governmental
Liability in East and Southeast Asia”, edited by Yong Zhang,
Kluwer Law International.
Handhaafbaar, Jong P, 1977, Milieurecht (Enforceable Environment
Law), Deventer : W.E.J, Tjeenk Willink.
Harkrisnowo, Harkristuti, 2003, HAM Dalam Kerangka Integrasi
Nasional Dan Pembangunan Hukum, Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia.
Hawkins, K, 1984, Environment and Enforcement, Regulation and the
Social Definition of Pollution, Oxford; Clarendon Press.
Iskatrinah, 2004, Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara
Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, Litbang
Pertahanan Indonesia, Balitbang Departemen Pertahanan.
Istanto, Sugeng, 1998, Konstitusionalisme dan Undang-Undang
Politik.
Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik Deskriptif, Penyunting
Somardi, Rimdi Press, Cetakan Pertama.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Binacipta.
Lebacqs, Karen, 1986, Six Theories of Justice, Perspective from Philosophical
and Theoritical Ethics, Meneapolis, Augsburg
Publising House.
Masyarakat Transparansi Indonesia, Pokok Pikiran Kajian GBHN
Tahun 1999 Bidang Hukum Sebagai Pedoman Politik Hukum
Nasional.
Mahendra, Oka, 1999, Hukum dan Politik.
Nigro, Felix A. & Lloyd G. Nogro, 1973, Modern Public Administration,,
Harper & Row Publisher Third Edition.
Nugroho, Dwi S., 2002, Problem Amandemen UUD 1945 dan Gagasan
Dibentuknya Komisi Konstitusi, Artikel.
Pound, Roscoe, 1965, Tugas Hukum Muhammad Radjab, Djakarta,
Bhatara.
Peranan Hukum dalam Pertanggungjawaban ... (Winahyu Erwiningsih) 157

Jumat, 27 April 2012

SOSIOLOGI SASTRA

1. Pengantar
              Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
              Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
              Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
2. Sejarah Pertumbuhan
              Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
              Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
              Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
              Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
              Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
              Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
              Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
3. Teori Sastra Marxis
              Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).
              Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.
              Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
4. George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin
              George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).
              Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.
5. Bertold Brecht: Efek Alienasi
              Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan 'katarsis' (pelepasan hehan) perasaan.
              Menurut Brecht, dramawan bendaknya menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).
6. Aliran Frankfurt
              Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
              Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).
              Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
7. Teori-Teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.
              Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).
1)   Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2)   Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.
3)   Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.
4)   Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.
              Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus.
              Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra. Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya.
              Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa.
              Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam, namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.
              Manusia selalu berada dalam situasi 'ketaksadaran politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar menggambarkan saat tertentu.
              Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991:43).
              Pada bagian penutup bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut teori-teori sastra modem yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (= peneliti yang cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik.
              Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985:196).
              Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya.
8 Rangkuman
              Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.
              Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
              Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.